Wednesday, January 14, 2015

APTB: Tumbal kegagalan Pemprov dan @PT_TransJakarta #SaveAPTB

Belakangan ini, pengguna jasa layanan APTB atau Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway sedang resah karena Gubernur DKI Jakarta mengancam menghapus keberadaan APTB tersebut karena APTB dianggap sebagai biang kemacetan karena mengambil penumpang di luar busway, terutama di lampu merah, dan ngetem. Setelah beberapa minggu, akhirnya nasib APTB akan ditentukan pada tanggal 15 Januari 2015, sesuai yang diberitakan Kompas.

Walau saya tidak menggunakan APTB sampai perbatasan, saya adalah pengguna rutin APTB. Kenapa? karena TransJakarta TIDAK bisa di andalkan di jam-jam sibuk. Jadi, saya memilih membayar lebih mahal daripada mesti nunggu 30-60 menit hanya untuk berdesak-desakan bagai sarden. Saya tidak keberatan berdesak-desakannya, tapi menunggunya itu yang saya kesal.

Ada kalanya APTB malah muncul lebih sering dibandingkan TransJakarta. Koridor 9 contohnya. Setiap 5-7 APTB berbanding dengan satu buah TransJakarta. Kalau mau secara gamblang sih, pelayanan APTB jauh, jauh, JAUH lebih baik daripada TransJakarta. Lalu kenapa mereka yang disalahkan atas kemacetan? mari kita analisis tuduhan pak gubernur. Pak Basuki mengatakan kalau APTB sering mengambil penumpang di luar Busway dan mengetem serta berjalan perlahan di jalur.

Pertanyaannya, salahkah mereka? Sejak penghapusan tiket integrasi, penumpang APTB lebih memilih menunggu di luar halte daripada harus masuk dan bayar 'uang preman' 3500. Ujung2nya, APTB melakukan hal itu demi pelayanan pada penumpang. Berbeda dengan TransJakarta yang sering berhenti lama di halte awal demi hemat kilometer yang dibayarkan ke Operator. istilahnya, EFISIENSI.

Selain itu, mereka juga dituding mengganggu layanan TransJakarta. Padahal kalau dilihat, justru mereka berjasa besar pada TransJakarta karena mengangkut penumpang yang ditelantarkan TransJakarta di Halte. Hal ini cukup terlihat di koridor 9 ketika TransJakarta lebih memilih pulang ke pool walau penumpang di halte masih banyak. Dengan beralihnya status Badan Layanan Umum menjadi BUMN yang berorientasi keuntungan, bukan tidak mungkin bakal makin banyak langkah-langkah efisiensi demi keuntungan yang lebih besar.

Saya bukannya suudzon, tapi saya melihat kenyataan di Lapangan. Misalnya saja waktu saya turun di Blok M, dibutuhkan waktu sampai 15 menit hanya untuk sampai ke halte penurunan karena bus terdepan ditahan agar tidak berangkat sehingga ritase yang ditempuh operator DAMRI menjadi sedikit.

Selain efisiensi, ada juga yang namanya Kualitas Bus TransJakarta yang JAUH di bawah bus yang dikelola operator APTB. Misalnya, lihat Mayasari keluaran tahun 2002? masih dalam kondisi mulus. Sekarang lihat TransJakarta keluaran 2013.... ingat kejadian 28 Agustus 2014? Ya. TransJakarta jurusan Kota-Blok M meledak dan terbakar di depan Masjid Agung. Kekuatan ledaknya bahkan memicu alarm mobil-mobil yang terparkir di depan Masjid Agung. Sekarang kita cari berapa banyak APTB yang terbakar, Mogok, atau mengalami insiden? Hampir tak terdengar. Skor 2-0 untuk APTB dari sisi pelayanan dan kelayakan bus.

Memang, bisa dibilang kalo APTB ini invasif karena mengambil jalur TransJakarta sampai ke tengah kota. Idealnya memang APTB hanya sampai ke pinggir terluar kota Jakarta yang dilayani TransJakarta. Hal ini pernah diterapkan pada APTB Bekasi Pulogadung yang dilayani oleh operator PPD. Saya tanya kepada anda sekalian. Pernah kah anda mendengar tentang APTB itu. Jawabannya saya yakin pernah, tapi tidak pernah benar2 tahu beroperasi atau tidak. Kenapa? karena Penumpang APTB itu setelah mencoba beberapa kali langsung kembali ke mobil pribadi karena mereka menunggu terlampau lama untuk bus TransJakarta dari Pulogadung untuk ke pusat kota.

Sebenarnya masih banyak alasan kenapa APTB lebih baik daripada TransJakarta. Tapi saya rasa yang sudah saya paparkan semestinya sudah cukup.

Nah, sekarang, Pak Basuki, dengan alasan karena APTB sudah terlanjur beroperasi, ia menawarkan 2 opsi untuk keberlangsungan APTB. Yang pertama adalah mengintegrasikan APTB dengan PT TransJakarta sehingga dibayar per kilometer. Yang kedua adalah APTB hanya boleh sampai perbatasan.

Menurut saya Opsi kedua adalah lesser of the two evil alias pilihan terbaik dari yang terburuk. Karena mereka masih mengontrol keberangkatan bus, dengan begitu, pelayanan penumpang tergantung oleh mereka. Perkara nanti penumpang cepat/tidak diangkut oleh TransJakarta bukan urusan mereka. Masalahnya, siapkah PT TransJakarta untuk mengangkut penumpang sebelum Halte UKI roboh karena overload?

Opsi pertama adalah opsi kejam dari PT TransJakarta karena PT TransJakarta mendapat armada gratis. selain itu, kilometer mereka kontrol sehingga pelayanan penumpang bakalan tergantung oleh kemauan PT TransJakarta membayar Kilometer. Masalah lain adalah apakah PT TransJakarta dapat membayar Kilometer yang ditempuh operator? Soalnya saya ingat pada Lebaran 2014 operator-operator TransJakarta TERLAMBAT menerima pembayaran Kilometer sehingga berimbas pada kesejahteraan pegawai. (ini tidak menghitung pembayaran gaji yang dirapel karena operator belum menerima pembayaran Kilometer dari bulan-bulan sebelumnya).

Sebenarnya ada opsi ketiga, opsi yang saya tawarkan pada Pemprov, yaitu, HAPUS APTB tapi trayek mereka kembali ke Reguler alias tidak masuk ke busway. Dengan begitu, Busway Exclusive untuk TransJakarta dan operator APTB kembali ke jalur reguler. Kena macet, tapi pelayanan mereka kontrol.

Untuk opsi pertama, bisa saya setujui DENGAN SYARAT: PT TransJakarta tidak boleh ikut campur pemberangkatan bus. Mereka hanya boleh mencatat kilometer bus. Mereka tidak boleh menahan bus yang akan berangkat untuk menjemput penumpang.

Sekian dari saya. Bila berkenan, mohon share. Kalau ada pertanyaan/Sanggahan saya terima di kolom komentar di bawah atau di twitter saya @Radityo_Utomo

Terima Kasih atas waktunya :)

-Radit-

No comments: